CINTA LUNA
‘Nggak semua yang kamu inginkan akan kamu dapatkan’
‘Nggak semua yang kamu harapkan menjadi kenyataan’
Itu merupakan kata-kata yang tepat untukku. Seorang anak semata wayang yang hidup dalam kasih sayang yang tak terhingga dari kedua orang tuanya. Segala yang ia inginkan pasti akan disediakan oleh kedua orang tuanya, tanpa ia sadari bagaimana mereka berjuang untuk memenuhi segala yang ia butuhkan. Yang ia tahu, semua itu ada, setelah ia memIntanya dan memang harus ada. Itulah aku rasakan selama ini. Saat aku kecil, aku hanya membanggakan diriku yang pandai dalam segala mata pelajaran. Aku kira itu semua cukup untuk membalas segala apa yang orang tuaku berikan kepadaku, dan sekarang baru aku menyadari bahwa itu semua salah, salah besar.
Entah aku yang terlalu tergantung belas kasihan orang tua atau karena memang takdir yang membawaku kependeritaan ini. Sekarang aku hidup terpisah dari kedua orang tuaku, hidup sendiri dalam keramaian yang hingar bingar tetapi penuh kesunyian menyelimuti. Apa yang aku banggakan dulu dan aku sombongkan hanya menuai cerita kecil dalam ingatanku. Sekarang aku hanya dalam kesendirian yang tak tentu arah. Ya, itulah yang aku alami sekarang. Sulit rasanya hidup dalam kesendirian, tak mampu mandiri dan hanya mengharapkan belas kasih dari kedua orang tua. Ketika aku ingin megandalakan kepandaianku untuk mencari uang, yang aku tahu kepandaian itu sudah hilang. Ketika aku ingin mengandalakan tenagaku untuk bekerja aku, tidak pernah tahu bagaimana aku memulainya. Aku tak punya kawan dan keluarga yang benar-benar menyayangiku. Karena aku tidak dapat bergaul dengan orang lain. aku terlalu takut orang lain terluka dengan sifat dan kata-kataku, oleh karena itu aku hanya mengenal orang di sekitarku tetapi aku tidak tahu siapa mereka. Aku selalu menjauh, karena kamu takut mereka akan menjauhiku. Aku tak punya apa-apa di sini. Hanya orang tua yang aku punya, hanya mereka, tapi setelah mereka meninggalkanku, kini aku merasa benar-benar sendiri.
Setiap hari aku hanya terdiam dalam kamar sempitku untuk menyesali kepahitan yang aku alami. Segala yang aku inginkan hanya tinggal impian. Segala kebahagiaan yang ku idam-idamkan hanya tinggal khayalan semata. Ingin rasaanya aku keluar dalam keputusasaan ini, tetapi aku tetap saja terbelenggu di dalamnya. Kepada siapakah aku harus minta pertolongan? Tuhan. Aku rasa itulah jawaban orang-orang apabila aku bertanya. Aku sudah terlalu capek untuk meminta, akan tetapi keyakinan untuk dapat memulai hari yang baru menjadi sebuah keinginan yang terpendam dalam diriku. Yang menjadi sebuah pertanyaan untukku sekarang ini adalah bagaimana aku dapat memulainya?
“ Aduh!” aku berteriak ketika terkena sebuah tutup bolpoin yang dengan sempurna mendarat dikepalaku.
“Luna! Lagi-lagi kamu ngelamun ya!” sergah Pak Supeno, guruku bahasa inggris.
“Maaf Pak!” jawabku lirih.
Ketika aku menoleh kesekitarku, banyak anak-anak yang tertawa kecil melihatku. Aku hanya diam saja, menunduk malu. Pelajaran bahasa inggris yang baru berlangsung tidak ada yang masuk ke otakku sama sekali, ingin rasanya aku bertanya kepada teman-temanku yang lain, tapi seolah-olah aku merasa mereka selalu meremehkanku. Jadi, satu-satunya jalan aku hanya diam saja atau mencoba memecahkan masalahku sendiri. Pelajaran yang kedua adalah matematika. Di pelajaran ini aku terus berusaha memusatkan pikiranku dan tidak melamun lagi, namun tiba-tiba…
Bapak kepala sekolah masuk ke dalam kelas dengan seorang siswa laki-laki di belakangnya. Ia memiliki perawakan indo, campuran antara indonesia dan bangsa timur tengah. Badannya tegap dan tingginya kurang lebih 170cm. Semua mata tertuju ke arahnya termasuk aku, namun aku segera mengalihkan pandanganku kembali ke catatan matematika yang belum selesai aku salin dari with board tanpa memperdulikan perkenalannya dengan teman-teman. Tanpa aku sadari ternyata cowok itu duduk di bangku sebelahku. Bangku di sebelahku memang kosong, karena tidak ada yang mau duduk disampingku.
“Kenalkan namaku Dion, kamu siapa?” katanya sembari mengulurkan tangan ke arahku.
“Luna.” Jawabku singkat sambil membalas jabatan tanganya. Aku melihat senyuman yang sangat lembut dari bibirnya. Hatiku seakan mau copot saat aku melihat senyuman yang indah itu. Lasung saja aku membuang muka saat aku tahu ia menatapku.
Dion sangat mudah bergaul, hal ini terbukti kurang dari satu minggu ia telah mendapatkan banyak teman baik teman sekelas ataupun teman di kelas-kelas lain. Ia juga selalu membuka pencakapan diantara kita. Ia selalu mengajakku bicara, meskipun aku hanya menjawabnya dengan satu dua kata. Suatu hari ia mencoba meminjam buku catatan milikku. Ia malah tertawa terbahak-bahak ketika aku bertanya ia mungkin akan mendapatkan catatan yang lebih lengkap dari teman yang lain.
“Beberapa teman memang meminjamkan catatannya untukku, tapi aku ingin meminjam milikmu.” katanya semangat. Aku tersenyum, baru kali ini aku merasa dapat tersenyum dengan tulus kepada seorang teman.
“Mengapa?” tanyaku ingin tahu.
“Nggak ada alasan.” Katanya datar. Ku ambilkan beberapa buku yang ia pinjam dari dalam tasku.
“Tapi ada syaratnya!” kataku sambil menyerahkan bukuku kepadanya. Ia tampak bengong, kemudian mengangguk, “Apa?” katanya lirih.
“Hari senin depan kembalikan kepadaku, tanpa cacat dan tidak ada coretan!” kataku semangat.
“Yeeeee! kalau itu gampang dech, Senin malam aku anterin dech ke rumahmu.” Katanya berkobar-kobar. Rumah, kapan aku terakhir menyebut nama tempat tinggalku sekarang ini sebagai rumah. Kapan terakhir kali aku memilki rumah? Aku sudah tidak ingat lagi.
“Luna! Kamu ngglamun lagi ya?” terkejut. Aku melihat Dion dengan tatapan yang sangat tajam ke arahku.
“ Hari Senin, di sekolah.” kataku datar.
“Ok!” katanya sambil lalu.
***
Pengembalian buku itu ternyata tidak pernah sesuai rencana. Dion selalu meminta mengembalikan ke rumahku, dan seperti biasa aku menolaknya. Akhirnya aku dan dia sepakat untuk bertemu disebuah café kecil yang berjarak kurang lebih 300m dari tempatku tinggal. Dan di sinilah aku sekarang duduk menunggunya ditemani segelas orange jus dan novel.
“Maap ya nunggu lama.” Kata Dion sambil mengambil tempat duduk di depanku.
Aku sempat terperangah melihat penampilan Dion yang tanpa mengenakan seragam sekolah. Ia tampak lebih keren dengan kaos t-shirt putih dan jaket hitam. Pantas saja banyak cewek-cewek yang ngantri untuk dapetin dia di sekolah.
“Ini bukunya.” Katanya sambil menyodorkan setumpuk buku catatan kepadaku.
Aku segera memasukkan buku-buku itu ke dalam tas dan berpamitan. Akan tetapi sebelum aku sempat beranjak dari tempat dudukku, ia memegang pergelangan tanganku,”Jangan pergi dulu!” katanya datar.
Aku memalingkan muka, sesaat kedua mata kami saling bertemu. Aku dapat melihat sebuah kerinduan kasih sayang yang sangat besar dalam pupil mata coklatnnya.
“Kita sama.” Katanya ketika melepaskan tanganku.
Sama? Apa maksudnya aku dan dia sama. Kami berbeda. Dia adalah orang yang dalam kehidupannya selalu bahagia, semangat, banyak teman dan keluarga yang menyayanginya serta tidak sendirian, seperti aku.
“Apa maksudmu?” tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku darinya.
“Saat pertama ku melihatmu, aku tahu dirimu sama denganku. Kamu juga kehilangan kasih sayang kedua orang tuamu, sama dengan diriku. Kamu merasa kehilangan semua orang yang selalu mencintaimu dan kamu tidak pernah ingin percaya lagi dengan orang lain. Perbedaannya sekarang aku menjalani kehidupan dengan berusaha mencari kasih sayang dari orang selain orang tuaku, sedangkan dirimu hanya ingin sendiri karena kamu merasa semua orang telah melupakanmu.” Katanya sambil tersenyum.
“Jangan sok tahu. Kamu sama sekali tidak mengenal siapa aku.” Kataku datar.
“Aku mengenalmu lebih dari dirimu sendiri.” Ia kembali menatpku tajam.
“Aku akui kamu mungkin mempunyai nasib yang sama denganku, tapi bukan berarti kamu tahu tentangku.” Kataku menahan amarah.
“Aku tahu tentangmu. Kamu hidup dengan tantemu yang tinggal 300m dari sini. Ia tidak pernah pulang hingga larut malam. Kamu jarang sekalli melihatnya bahkan berbicara kepadamu. Kedua orang tuamu sekarang tinggal terpisah karena setahun yang lalu mereka bercerai. Kamu memilih tinggal bersama tantemu karena kamu tidak ingin medengar mereka memperebutkanmu lagi. Kamu dulu adalah anak manja yang semua apa yang kamu inginkan akan tersedia, dan sekarang kamu ingin sekali kembali ke kehidupanmu yang dulu, akan tetapi semakin lama kamu memIntanya semakin lama dirimu akan tenggelam dalam kenangan masa lalu yang tidak berarti. Benarkan kata-kataku?” tegasnya. Aku segera memalingkan muka saat aku sadari air mataku akan jatuh.
“Siapa kamu?” tanyaku lirih.
“Belum saatnya kamu tahu. Yang aku inginkan, mulai dari sekarang kamu mau bersahabat denganku dan yang lain. Hilangkan semua rasa takutmu dan rasa dinginmu itu. Aku ingin membantumu bangkit dari semua ini. Percayalah hanya ini yang aku minta darimu. Well, aku harus pergi. Sudah terlambat nich jemput Intan. Maap ya kalau aku sudah membicarakan masalah ini denganmu, bye!” Dia beranjak dari duduknya sambil tersenyum simpul.
Aku sendiri hanya menatapnya pergi dan tidak dapat mengatakan apa-apa lagi. Yang dapat aku rasakan pertemuan itu telah mengubah jalan pikiran dan sebuah pertanyaan besar tentang cowok itu.
***
Setelah pertemuan itu aku menjadi seseorang yang berbeda. Awalnya aku selalu menolak ketika Dion mengajakku bergabung dengan teman-teman yang lagi asyik bergosip. Tanggapan teman-teman bermacam-macam, ada yang dengan senang hati menerimaku bersama dengan mereka, ada juga yang masih merasa asing dengan perubahan sifatku. Ternyata selama ini teman-teman selalu mengira bahwa aku adalah anak yang sombong dan tidak ingin berteman dengan mereka. Sungguh ironis, akan tetapi lama kelamaan akhirnya teman-teman menerima aku juga. Ini adalah sesuatu yang sangat menggembirakan untukku. Selama ini aku mengira berteman adalah sesuatu yang menyulitkan, teman-teman hanya akan datang ketika kita bahagia dan saat kita sedih mereka akan meninggalkan kita. Dan anggapanku selama ini tentang mereka memang salah.
“Kamu sudah selesai melamunnya?” suara itu membuatku terperanjat. Aku melihat Dion sudah duduk di depanku tersenyum kecil.
“Bikin kaget saja! Ada apa?” tanyaku.
“Kamu tidak ada acara pulang sekolah nanti? Aku ingin mengajakmu membeli hadiah untuk Intan, mau kan? Aku traktir kamu makan siang dech!” Ia nyengir dengan tatapan memohon.
Intan? Dadaku sesak ketika nama itu selalu ia sebut akhir-akhir ini. Saat aku tanya dia siapa Intan, ia hanya bilang Intan adalah cewek yang mengubah hidupnya selama ini dan inspirasi untuk hidupnya. Aku tahu, selama ini aku merasakan perasaan yang lain dengan Dion, perasaan yang selalu menggagu pikiranku dan hatiku. Saat sehari saja aku tidak bertemu dengannya, rasanya hampir sebulan tak bertemu, dan ketika ia menatap mataku, jantungku selalu berdetak lebih cepat dari biasanya. Apakah mungkin aku jatuh cinta dengannya? Kalau itu yang terjadi cintaku hanyalah akan bertepuk sebelah tangan, karena Intan telah ada dalam hatinya.
***
Hampir dua minggu lebih setelah ia memintaku membantu membelikan kado buat Intan aku tidak melihat Dion di sekolah dan ia juga tidak menghubungiku sama sekali. Aku mencoba menghubungi handphone-nya tetapi tidak ada jawaban, kemudian aku menghubungi nomer rumahnya yang baru aku dapatkan dari temanku. Saat menelepon aku mendapati suara perempuan yang mengaku adalah pembantunya. Perempuan tersebut mengatakan bahwa Dion sedang berada di rumah sakit menunggu Intan yang sedang di rawat di sana. Aku meminta alamat rumah sakit tempat merawat Intan dan segera pergi ke sana.
Dion tampak terkejut setelah mendapati aku berdiri di depannya. Ia langsung bangkit dari tempat duduknya seperti hendak mengatakan sesuatu tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. “Kenapa tidak bilang kepadaku Intan sedang sakit?” tanyaku.
“Maafkan aku.” Katanya lirih. Pandangannya kini teralih pada seorang gadis yang terbaring koma dalam ruangan yang tidak boleh dimasuki seorangpun. Aku sendiri turut melihat dari kaca di samping Dion.
“Diakah Intan? Kamu berjanji mengenalkannya padaku, akan tetapi aku tidak percaya aku bertemu dengannya dalam keadaan seperti ini.“ Sebuah perasaan yang sedih mengalir dalam diriku saat melihat Intan diam tak bergerak di dalam ruang ICU.
“Intan sudah terkena penyakit leukemia sejak dia berumur sepuluh tahun. Dokter sendiri sangat terkejut mendapati dirinya dapat bertahan hidup hingga sekarang. Aku pernah bercerita kepadamu bahwa semangat hidupku kembali karena Intan yang selalu ada disampingku. Dia adalah adikku, tapi aku kadang menganganggapnya ia lebih sebagai pengganti ibuku yang telah tiada sebelum kami mendapatkan ibu yang baru. Dia itu selalu berfikir lebih dewasa dari aku. Dia lebih sabar menghadapi kehidupan daripada kakaknya sendiri.” Dion menunduk, aku mendapati dirinya meneteskan air mata. Aku menyentuh bahu Dion, mencoba untuk menenangkannya. Ternyata selama ini aku berfikir salah tentang hubungan antara Dion dan Intan. Seharusnya aku mengenal Dion lebih baik lagi seperti ia selama ini mengenalku.
“Maaf ya, seharusnya aku tidak mengatakan ini semua kepadamu.” Katanya saat ia kembali duduk. Akupun turut duduk disebelahnya.
Tiba-tiba aku melihat seorang wanita setengah baya menghampiri kami. Aku benar-benar terkejut saat mendapatinya memeluk Dion lalu mengamatiku lekat-lekat. Aku tidak menyangka sama sekali ia ada di sini dan apa hubungannya dengan Dion?
“Luna!” sapanya lembut yang juga hendak memelukku.
Tapi sebelum tangannya dapat menyentuhku, aku segera menepisnya lalu berlari keluar dari ruangan ICU. Saat aku merasa sudah tarlalu jauh dan merasa aman, akupun berhenti berlari. Aku menemukan sebuah bangku kecil di bawah pohon dan segera aku duduk di sana, menangis. Sekarang aku tahu siapa yang Dion sebut dengan ibu barunya. Saat mama memutuskan untuk menikah lagi, aku tidak lagi berhubungan dengan mama. Aku memilih pergi ke Malang dan tinggal bersama tante Ana daripada harus melihat mama dengan suami barunya. Dan yang tidak dapat aku terima adalah Dion merupakan saudara tiriku. Pantas selama ini dia mengenal betul siapa aku dan segala sesuatu tentang diriku.
Seseorang tiba-tiba menyentuh bahuku. Saat aku menoleh kepadanya, aku dapati Dion berdiri di sampingku. Ketika aku mengelak dari pandangan matanya, ia malah bersimpuh di depanku dan memegang tanganku erat hingga aku tak dapat melepaskanya. ”Maafkan aku Luna. Aku tidak memberitahumu tentang diriku selama ini. Kamu tahu bagaimana Mama Yuli merasa sangat kehilangan dirimu saat kamu tidak pernah datang ke rumah bahkan menghubunginya. Dia sangat menyayangimu melebihi dirinya sendiri, oleh sebab itu aku ingin kamu kembali kepadanya.”
“Percayalah padaku Luna, tidak ada seorang ibu yang ingin melihat anaknya sedih. Apapun yang dilakukan itu juga demi kebaikanmu juga.”
Aku menepis tangan Dion, berdiri menjahuinya. “Kamu tahu bagaimana perasaanku saat ia memutuskan berpisah dengan Papa? Mereka berdua tidak pernah mempedulikanku setelah berpaisah. Bagi mereka, aku ini hanya sebuah benda yang di pindahkan ke sana ke mari. Mereka hanya sibuk dengan urusan pekerjaannya masing-masing, tanpa menanyakan bagaimana keadaanku, apa yang aku butuhkan dan bagaiman perasaanku selama ini. Mereka hanya…” kata-kata itu terhenti ketika Dion memelukku.
“Aku tahu apa yang kamu rasakan, karena aku juga pernah mengalaminya. Mama bersikap demikian karena ia masih sangat sedih dengan percerainnya. Berikan ia kesempatan Luna untuk mengubah semua perlakuannya kepadamu. Tuhan saja mau memaafkan kesalahan makhluknya, kenapa kita tidak bisa?” katanya sambil tersenyum memandangku setelah ia melepaskan pelukannya. Aku ingin membalas kata-katanya tapi tak pernah ada satu katapun keluar dari mulutku. Aku tahu selama ini aku salah.
“Temui Mamamu!” katanya tegas. Saat itulah Aku melihat Mama berdiri agak jauh di belakang Dion, aku tetap tidak bergeming dari tempatku berdiri. Tapi semakin lama aku melihatnya, aku baru menyadari bahwa sebenarnya aku sangat merindukan Mama. Dan akupun berlari untuk memeluknya.
“Maafin aku Ma.” Kataku lirih. Aku terisak dalam pelukannya. Ia membelaiku dalam kasih sayangnya, kasih sayang yang selama ini aku rindukan dan yang paling aku inginkan di dunia ini.
‘Tuhan terimakasih Engkau telah mengembalikan kasih sayangnya untukku’
0 komentar:
Posting Komentar